dokumentasi Training Kader Masjid adalah bukti kebesaran Allah SWT

Kamis, 31 Juli 2008

Kemerdekaan Indonesia, Buah Strategi Tokoh Islam

Memang militer Indonesia melahirkan dirinya sendiri. Dalam proses kelahirannya ini peran laskar-laskar santri yang dipimpin para kiai, ulama, dan ajengan harus dicatat dengan tinta emas sebagai ibu kandung yang melahirkan TNI...

----------

Sarekat Indonesia (SI) adalah cikal bakal gerakan politik modern Indonesia. Ia juga adalah titik tolak organisasi pergerakan nasional.

Sarekat Dagang Islam berdiri pada 16 Oktober 1905 sebagai wadah persatuan pada pedagang pribumi Muslim. Awal gerakan ini dimulai di Solo dan dimotori oleh seorang saudagar Muslim di Surakarta, H Samanhudi. SDI pada awalnya diarahkan untuk melawan dominasi Cina yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pedagang pribumi.

Anggaran Dasar SDI, sebagaimana tercatat dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, bertujuan untuk berikhtiar meingkatkan persaudaraan di antara anggota dan tolong menolong di kalangan kaum Muslimin, berusaha meningkatkan derajat kemakmuran dan kebebasan negeri. Organisasi ini meluas sampai ke lapisan masyarakat bawah dan kemudian oleh pemerintah kala itu dianggap sebagai organisasi yang mengancam stabilitas sehingga dibekukan pada Agustus 1912.

Pada akhir Agustus 1912 pembekuan SDI dicabut karena tidak cukupnya bukti. Setelah itu dilakukan perubahan pada tubuh SDI sebagai aset umat dalam rangka menyikapi perkembangan yang terjadi di tanah air. Muncullah pemimpin baru yakti Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Disusunlah anggaran dasar baru bahwa organisasi ini dinyatakan meliputi seluruh Indonesia dan sekaligus menghapus kata “dagang” menjadi Sarekat Islam (SI). Tercatat H Samanhudi sebagai ketua dan HOS Tjokroaminoto sebagai komisaris. Anggaran Dasar disahkan dengan akta notaris di Surabaya pada 10 September 1912.

Sejak berdirinya, tercatat sejumlah advokasi yang dilakukan oleh SI. Organisasi ini gigih mengusahakan tercapainya tujuan kenegaraan, kebenaran, dan keadilan. Upaya-upaya perlawanan terhadap praktik-praktik penindasan oleh penguasa juga kerap dilakukan.

Perkembangan SI begitu pesat. Pada waktu itu SI menjadi kekuatan politik yang amat terasa pengaruhnya. Tahun 1916 tercatat 181 cabang di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700 ribu anggota. Sebuah angka yang fantastis kala itu, Budi Utomo di masa keemasannya saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10 ribu orang.

Tak salah kiranya jika kelompok nasionalis Islami berpendapat bahwa berdirinya Sarekat Islam pada 16 Oktober 1905 adalah titik tolak pergerakan nasional. Islamlah yang mampu mendobrak “nasionalisme” lokal itu (Nasution, 1965). Tak kurang, M Natsir dalam Indoensisch Nationalism mengatakan bahwa pergerakan Islamlah yang pertama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan.

Koran Asia Raja, 13 September 1943, mempublikasikan tuntutan sepuluh ulama pada pemerintah Jepang di Jakarta. Tuntutan ini berisi: permintaan para ulama agar Jepang segera membentuk tentara sukarela yang akan membela tanah Jawa. Kesepuluh ulama tersebut adalah: KH Mas Mansoer, Tuan Guru H Mansoer, Tuan Guru H Jacob, H Moh Sadri, KH Adnan, Tuan Guru H Cholid, KH Djoenaedi, DR H Karim Amrullah, H Abdoel Madjid, dan U Mochtar.

Akhirnya, 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang meresmikan PETA di Bogor. Keanggotaan PETA didominasi oleh kalangan santri dan ulama, termasuk kesepuluh ulama tersebut. Sementara KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, dipercaya sebagai penasehat PETA. Beliau berhasil menanamkan ruh jihad di tiap dada prajurit PETA.

KH Hasyim Asy’ari selalu menanamkan pada prajurit-prajurit PETA bahwa tujuannya adalah berperang karena Allah, mengangkat kehormatan agama Islam, dan menyebarkan firman Allah. Sehingga usaha para prajurit dapat dianggap perang di jalan Allah (Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy’ari). Tak heran jika umat Islam menyambutnya dengan ghirah tinggi. Umat berharap kehadiran PETA bisa menjadi batu loncatan menuju Indonesia merdeka.

Laskar Hizbullah didirikan pada awal tahun 1945, bertujuan untuk mempersiapkan pemuda Islam mempertahankan Jawa jika tentara sekutu datang. Ide pembentukan laskar Hizbullah dipelopori oleh KH Wachid Hasyim. Pengorbanan laskar santri ini terasa nyata ketika kita menengok pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Dengan semangat membara, Bung Tomo, menanamkan ruh jihad pada para pejuang melalui corong radio dan pidato-pidatonya di Surabaya. Kalimat “Allahu Akbar, merdeka atau mati” menjadi semboyan setiap anggota laskar yang didukung oleh para santri dan kiai dari semua pondok pesantren di Jawa Timur. Tak heran perlawanan laskar santri ini tercatat sebagai jihad paling heroik sepanjang sejarah republik ini.

Setelah disahkannya BKR (Barisan Keamanan Rakyat) oleh Soekarno, sepanjang sejarah BKR hingga TNI (1945-1949) umumnya dipimpin oleh panglima dan komandan dari PETA yang berlatar belakang santri. Panglima Besar Soedirman misalnya, ia dikenal sebagai kader Muhammadiyah dan juga pernah menjabat Ketua Pemuda Muhammadiyah Cilacap. Semasa perang gerilya, anak buahnya selalu memanggil Kajine (Pak Haji) kepada Soedirman, meski ia belum pernah menunaikan ibadah haji.

Memang militer Indonesia melahirkan dirinya sendiri. Dalam proses kelahirannya ini peran laskar-laskar santri yang dipimpin para kiai, ulama, dan ajengan harus dicatat dengan tinta emas sebagai ibu kandung yang melahirkan TNI. Meski dalam perjalanannya terdapat banyak persoalan politik berkaitan dengan perbedaan ideologi negara dan ideologi laskar serta persoalan reorganisasi TNI, tidak seharusnya pengorbanan laskar santri ini dinafikan begitu saja. Atau malah dicap pemberontak! [Disarikan dari beberapa artikel di Sabili, edisi khusus Juli 2004]

Tidak ada komentar: